Selasa, 02 Maret 2010

Aku, Kakek, Hujan, dan Flamboyan Yang Indah

Pada suatu senja di hari minggu yang berangin dan berdebu, aku beranjak dari beranda rumahku meninggalkan lamunanku dan tatapanku terhadap anak-anak kecil yang sedang bermain di depan rumah. Satu hari yang cukup segar bagiku, walaupun suasana tak cukup ramai untuk bersenda gurau. Aku berjalan-jalan berniat menghilangkan kepenatan menuju taman di ujung perumahan rumahku. Senja itu memang sangat berangin. Melewati blok-blok yang sejuk dengan tawa anak kecil. Angin yang berdebu mengibas-ngibaskan rambutku yang terurai panjang yang ujungnya hampir menyentuh pinggangku. Daun-daun gugur menari-menari di sekitarku seakan-akan menemani langkahku menuju ke suatu tempat di taman itu.
Kursi panjang terbuat dari kayu yang kini hampir lapuk, perlahan ku dekati dan kunikmati kenyamanannya. Menghirup udara sore yang beraroma keluguan. Di sana, di sisi lain dari kursi yang kududuki, seorang pria tua duduk dengan kedua tangannya saling mengenggam sambil menatap lurus ke depan, bukan tatapan kosong. Sesekali aku melihat senyum tipis tergambarkan di bibirnya yang keriput. Ingin aku pergi dari tempat itu karena khawatir mengganggu kenyamanannya. Mencoba untuk menghilangkan keberadaanku di dekatnya. Tapi, ketika kumulai beranjak….
“Kenapa terlalu cepat pergi, duduklah dan nikmati keindahannya!”, ucap orang asing itu kepadaku dengan senyuman lebarnya saat aku baru saja setengah berdiri. Tentu saja aku seketika duduk kembali, bukan karena takut tapi aku tidak tahu harus melakukan apa.
“Maaf, maksud anda menikmati keindahan itu apa?, maksud saya keindahan apa yang dinikmati?”, tanyaku, yang sebenarnya kuragu untuk mengucapkan kata-kata.
“Namaku Sulaiman, kau bisa memanggilku kakek eman, atau kakek saja”, kata orang itu masih tetap memandang lurus kedepan.
“Oh, iya. Namaku prammesti, biasanya dipanggil pram, kek” kataku sambil berusaha menangkap matanya agar dia melihatku. Bukankah tidak sopan berbircara tanpa melihat lawan bicara. Sungguh mengecewakan berbicara dengan orang seperti itu. Tapi aku sangat penasaran dengan gerak gerik kakek itu, walaupun mungkin dia hanya terduduk terpaku dan hanya berbicara dengan pandangan lurus tak tau apa maksudnya. Aku mencoba membuka sesi percakapan lagi.
“Sedang menikmati senja yang sejuk ini ya,kek?, tapi sepertinya taman ini belum dibersihkan.”
“Aku ingin dia tetap ada di setiap generasi, sangat indah bukan?”
Kakek ini benar-benar membuatku bingung, muncul tanya di benakku, kakek ini orang waras atau memang punya kelainan.
“Maksud kakek apa?, apa yang indah?”
“Kau bingung ya?, maaf, kau lihat pohon di depan itu, tinggi menjulang, sangat rindang, dan bunganya berguguran sangat indah”, Katanya kali ini dengan menghadapku dan tidak terlihat seperti patung bersuara lagi. Dia juga memperlihatkan ekspresi wajah yang tenang ketika menunjuk pohon flamboyan yang jaraknya sekitar 15 meter dari kursi taman tempat kami duduk.
“Oo, pohon flamboyan itu, iya bunganya memang berjatuhan mengotori taman ini,”kataku spontan
“Hush!..jangan berkata seperti itu, ini adalah pohon terindah di dunia, bagiku pohon ini mengagumkan,” ucapnya dengan spontan juga, yang hampir membuatku terkejut dengan tanggapannya.
“Iya, semua orang punya kesenangan tersendiri, maaf”
“Tidak apa-apa, memang kelihatannya pohon itu mengotori taman ini, tapi coba lihat tanah disekitarnya yang tadinya coklat pekat kini terlihat seperti ditaburi permata-permata merah yang indah, dan coba kau lihat anak kecil yang bermain di bawahnya, pasti dia merasa teduh dan sejuk,”
“Iya, mungkin aku hanya menganggapnya pohon biasa saja”
“Aku mengerti, mungkin kau heran aku terlalu memujinya, tapi pohon itu sangat berkesan di hidupku, dan aku senang bisa bertemu dia disini”
“Artinya kakek tidak tinggal di sekitar sini?”
“Aku tinggal disini di rumah keponakanku, sejak aku mulai lemah, maklum penyakit orang tua, dulu aku tinggal di kampung, tapi tentu saja aku tidak gaptek”
Memang tampaknya kakek itu kelihatan lebih trendy dibandingkan orang tua yang lain. Aku mulai nyaman dengan percakapan ini. Firasatku mengatakan tidak ada ruginya bercakap-cakap dengan orang tua ini.
“Kek, aku sebenarnya penasaran dengan pohon flamboyan, kenapa pohon itu menjadi spesial bagi kakek, jujur aku menganggapnya biasa saja, kalau kakek tidak keberatan menceritakannya padaku”
“Tentu tidak pram, banyak kisah tentangku dan flamboyan”
Dia memperbaiki posisinya di kursi panjang itu, sesekali dia batuk dan sesekali menatapku dan tersenyum yang aku sama sekali tak tahu makna senyumannya. Mungkin wajahku yang terlihat sangat penasaran atau mungkin juga dia ingin sekali menceritakan kisahnya dan flamboyan.
“Ketika aku masih remaja, tepatnya saat SMA, pertemuan yang tak terduga dengan cinta pertamaku”
Sedikit aku tertawa, tapi aku menahannya. Aku tak habis pikir kakek ini romantis juga. Aku yakin pasti kisah cinta yang jadul tapi menarik juga bagiku karena aku tak pernah mendengar kakekku bahkan orangtuaku bercerita seperti ini.
“Seorang gadis manis berdiri di bawah pohon flamboyan di depan rumahku saat hujan deras turun, dia berteduh walaupun basah kuyup, tak ada tempat berteduh selain pohon itu. Aku memandangnya dari jendela rumah. Rambutnya panjang, kurang lebih seperti rambutmu” katanya memulai cerita sambil mengamati rambutku kemudian memandang lurus lagi dan melanjutkan ceritanya.
“Dia menunggu sampai hujan reda, tapi hujan semakin deras, aku spontan keluar rumah membawa dua payung, dan kudekati dia sambil berkata “Ini aku pinjamkan payung, kau bisa mengembalikannya kapanpun setelah kau gunakan”. Dia tidak mengambil payungku melainkan mengatakan “Terima kasih, aku ingin berdiri di dekat flamboyan ini, aku ingin daun dan bunganya berjatuhan di tubuhku, mungkin kau heran, tapi aku sangat menyukainya”
“Hah!” kataku dengan heran
“Iya, kata itu yang kuucapkan juga saat itu, tapi dia memalingkan pandangannya dariku dan melihat ke puncak flamboyan. Dia sangat manis ternyata, bahkan ketika aku kembali ke jendelaku dan memandangnya, wajah manisnya tidak lenyap walau dari jauh. Saat hujan reda dia pergi, bahkan aku masih menatapnya sampai ia hilang di ujung jalan. Entah mengapa gadis itu sangat berkesan bagiku.
“Jangan jangan orang itu sudah jadi istrinya kakek ya?”, ucapku yang sepertinya memotong ceritanya
“Tidak, aku tidak berkeluarga sampai saat ini, mungkin kau bertanya kenapa, itu karena flamboyan, yang menyebabkanku bertemu dengannya”
“Hoo, maaf kalau aku sok tahu”
“Tidak apa, sampai dimana tadi?..huk…huk..huk.
Tanyanya sambil terbatuk-batuk. Aku merasa bersalah telah mengucapkan pertanyaan itu, sepertinya aku telah memotong ceritanya. “Sampai dia pergi dari pohon flamboyan itu,” kataku mengingatkannya
“Oh, Iya. Aku penasaran dengan gadis itu sampai-sampai aku memikirkannya semalaman. Seminggu berikutnya, saat senja hari seperti hari itu, hujan turun sangat deras. Gadis itu kembali berdiri di teduhan pohon flamboyan, aku agak heran sebenarnya. Tapi, aku senang bisa melihatnya lagi. Dia selalu mengenakan baju dengan motif kembang, mungkin dia suka dengan tanaman. Kali itu, aku tak mendekatinya dan menawarkannya payung. Aku hanya memandangnya. Sesekali dia menoleh ke arahku dan pada saat itu juga aku spontan menutup diri dengan tirai jendela”
“Lucu juga kalau aku bayangkan saat kakek seperti main petak umpet,”
“Haha, iya. Kau tahu, keesokan harinya dia datang di senja hari lagi saat hujan turun, mungkin saat itu adalah pertemuan terakhirku dengannya,”
“Kenapa kek?”
“Waktu itu, ketika dia berteduh aku menghampirinya lagi. Mungkin aku membuatnya merasa tidak nyaman. Aku bertanya kepadanya, mengapa setiap hujan dia selalu berdiri di tempat itu. Dan dia menjawab “Bukankah aku sudah mengatakan, aku ingin daun dan kuntum bunga flamboyan berjatuhan di tubuhku, tolong jangan ganggu kesenanganku”. Kata-katanya membuatku tersinggung, padahal aku sama sekali hanya ingin berkenalan tapi ternyata dia merasa terganggu dengan kedatanganku”
“Hmmmm” gumamku
“Saat itu juga aku balas berbicara, ku katakan, “ini adalah pohonku, setidaknya aku memiliki hak, termasuk mengetahui apa yang ada di sekitarnya”. “Aku tahu, maaf kalau aku tidak minta izin aku hanya ingin menikmati keindahannya,” katanya dengan wajah cuek seakan-akan hanya ada dia dan pohon itu
“Ooo, tidak apa-apa, silahkan saja. Tapi kenapa kau mengagumi pohon ini?” aku bertanya pada gadis asing itu mencoba memulai percakapan.
“Entahlah, yang jelas pohon ini sangat indah, apalagi saat hujan turun, yang jelas sangat indah, dan hanya pohon ini yang paling besar dan dekat dengan rumahku”.
Aku kemudian mencoba bertanya-tanya tentang dirinya, tapi dia tidak suka, bahkan namanyapun tak ingin di sebutkan. “Kau tidak boleh kesini lagi kalau kau tidak ramah padaku, pohon ini juga akan membencimu kalau kau seperti itu” aku mengatakan hal itu padanya, mungkin terlalu mengancam padahal aku tak bermaksud begitu”
“Lalu kek, apa yang dia katakan?”, tanyaku penasaran lagi.
“Dia tidak berkata apapun, dia langsung pergi beranjak dari tempat itu saat hujan masih deras, aku tercengang dan merasa bersalah” kata kakek dengan ekspresi agak menyesal
“Lalu,bagaimana dengan keesokan harinya, atau saat hari dimana hujan turun lagi?,” tanyaku dengan rasa terlebur dengan cerita kakek.
“Saat itu pertemuan terakhirku pram, aku tidak pernah melihatnya, bahkan berpapasan di stasiun keretapun tidak, tapi aku sangat suka padanya, sampai saat ini,” kata kakek dengan kesungguhannya.
“Begitu ya, kek,”
“Sepertinya sudah hampir malam, aku mau pulang, takut orang rumah mengomeliku karena tidak minum obat tepat waktu,”
“oh, iya kek, sampai jumpa, terima kasih ceritanya”
“iya, sama-sama”
Hari sudah gelap, aku juga beranjak dari tempat itu, setidaknya ada sesuatu yang kubawa pulang dirumah, jadi aku tidak lagi merasa bosan untuk kembali dan menikmati suasana senja seperti itu. Sebenarnya bagiku itu hanya pembicaraan biasa, hanya saja karakter kakek itu yang unik. Aku kembali berjalan melewati blok-blok perumahan yang sudah sunyi, tak Nampak lagi anak-anak yang bermain, anak kecil di dekat pohon flamboyanpun sepertinya sudah pulang dan cuci kaki di rumahnya.
Segelas air dingin melegakan tenggorokanku saat tiba dirumah yang membosankan bagiku, karena hanya ada kakak perempuan yang sibuk sendiri, mama yang telah lama menjanda, dan barang-barang bertumpuk yang siap dijual di pasar loak. Hah, sungguh hari yang baru.
Keesokan harinya, aku berjalan-jalan lagi di senja hari yang berangin. Dengan suasana yang agak berbeda, langit mendung tapi membuatku tetap menikmati saat itu. Kali ini aku bersepeda mengelilingi kompleks tanpa niat sedikitpun singgah di taman kemarin.
“Kakek eman!” panggilku
“eh, pram, sedang bersepeda ya?, wah, asyik sekali” katanya
Aku memarkirkan sepedaku dan duduk di kursi itu lagi. Mengikat rambutku, dan melepaskan earphone dari telingaku.
“Menikmati flamboyan lagi?” tanyaku
“Iya, kali ini bunganya lebih banyak dari kemarin, mungkin dia ingin menyambut hujan”, jawabnya
“Langit memang mendung kek, mungkin sebentar lagi akan hujan,”
“Mungkin tidak akan hujan pram, minggu lalu juga seperti ini, aku berharap agar hujan turun, tapi tak juga turun,” ucapnya tanpa ada rasa kecewa hujan tak turun, sepertinya dia sangat menanti hujan turun.
“Jadi kakek, menanti hujan turun ya?”, tanyaku dengan tersenyum, berharap senyumku manis, tapi entahlah.
Langit bertambah mendung, tapi tak setetespun air hujan turun, hanya senja yang berangin, aku, dan kakek di taman itu. Anak kecil yang kemarin di tempat itu, tidak muncul untuk mengais-ngais tanah menulis-nulis sesuatu.
“Sehari setelah ulang tahunku yang ke tiga belas, aku dan dua orang temanku sedang berkumpul-kumpul sehabis pulang sekolah. Kami bersenda gurau di kebun jauh di belakang sekolah” kata kakek yang spertinya akan menceritakan satu cerita lagi. Wajahnya nampak teduh. Aku hanya memasang wajah seperti anak kecil yang akan diceritakan dongeng oleh neneknya yang duduk di kursi goyang. Kemudian dia menoleh kearahku sebentar dan melanjtkan ceritanya.
“Mereka adalah sahabat-sahabatku sewaktu masih SMP. Saat itu kami duduk diatas terpal kusut dibawah pohon flamboyan yang sangat rindang. Lebih kecil dari pohon di hadapan kita. Kami bercerita tentang kisah-kisah film layar tancap yang kami nonton pada liburan sekolah yang lalu,”
Aku melihat wajah datar dari kakek, dan tampaknya, wajahnya hari ini agak pucat sama pucatnya dengan baju kaos abu-abu yang ia kenakan senja itu. Dengan sleyer melingkar di lehernya, dan posisi tangan yang saling menggenggam.
“Salah satu dari mereka seketika mengajak taruhan. Taruhannya adalah, siapa yang memanjat pohon itu paling rendah maka dia yang harus mentraktrik di kantin sekolah esok hari. Aku dan teman lainpun sangat semangat menerima ajakan itu,”
“Yang dimanjat pohon flamboyan itu kan, kek?”, tanyaku
“Iya, pohon itu selalu menjadi tempat kami berkumpul bertiga, tapi kami belum pernah memnjatinya sekali pun. Kami memanjat secara bersamaan, walaupun kami saling tarik-menarik dan saling mendorong tapi kami cukup lincah dan kuat untuk tetap bertahan. Aku berada paling atas, setelah menjadi yang paling tinggi, akhirnya aku yang menang, dan temanku roni yang memang berbadan agak gemuk harus menerima nasib dengan kekalahannya,”
“Asyik juga kek, tapi sepertinya itu hanya cocok untuk anak lelaki, itupun masih berbahaya karena pohon flamboyan kan sangat besar,” potongku
“Iya, karena itulah, farid mengejek roni karena dia kalah dan badannya yang gemuk, aku juga ikut tertawa. Kemudian kesabarannya hilang, roni memanjat ke arah farid dengan marahnya, sambil memukulnya. Faridpun membalas, keduanya bertengkar di atas pohon itu,”
“Lalu kek, bagaimana itu terjadi, bukankah kalian berteman baik?” tanyaku
“Iya, tapi entahlah. Aku hanya bisa berteriak dari atas agar mereka tidak berkelahi, aku mendekati mereka, dan kemudian farid tergelincir. Batang pohon flamboyant itu sangat licin untuk dimanjati. Spontan kulihat roni memegang tangannya dan berusaha menariknya naik. Aku juga membantu. Tapi, kemudian hujan turun dengan tiba-tiba, sebenarnya sudah turun gerimis sejak kami berada disitu,”
“Tapi, teman kakek tidak jadi jatuh kan?” kataku
“Hujan sangat deras pram, aku samar-samar melihat mereka. Yang jelas farid terjatuh. Kepalanya bocor dan bermandikan darah. Dia jatuh dengan ketinggian kira-kira tujuh-delapan meter,”
“Jadi?”, kataku spontan dengan wajah agak ngeri
“Dia meninggal seketika, walaupun sebelumnya kami masih mendengar rintihannya,” jawab kakek dengan mata yang berkaca-kaca
“Sudahlah kek, itukan sudah berlalu, dan jangan terus di ingat ya?,” kataku berusaha menghibur
“Tidak, aku hanya prihatin dia mati di bawah pohon flamboyan, karena kejadian itu, pohon flamboyan itu di tebang, aku kehilangan dua sahabat sekaligus, roni sangat terpukul, yang seharusnya dia di penjara tapi malah di kirim ke rs jiwa karena mengalami gangguan jiwa akibat peristiwa itu. Dan tiga tahun dia di rumah sakit jiwa, dia meninggal dengan merasa bersalah seumur hidupnya,”
“Aku turut prihatin kek, kan masih ada aku yang bisa jadi sahabat kakek, juga masih ada flamboyan indah ini di depan kita,” kataku mencoba mendinginkan suasana
“Iya, terima kasih. Waktunya kita berpisah lagi pram, aku sepertinya lelah, dan hari juga sudah gelap, sampi jumpa lain waktu,” ucap kakek sambil terbatuk-batuk kecil, melambaikan tangannya dan berjalan pergi. Aku yakin dia merasa sakit, makanya dia cepat-cepat beranjak dari tempat itu.
Aku mengerti keadaanya, aku tersenyum keadanya, dan mangambil sepedaku kemudian mengayuhnya pulang kerumah. Sangat menyenangkan bisa bertemu orang tua itu, tapi perasaanku agak sedih mendengarkan ceritanya. Tapi, tak apalah, hal itu dapat menjadi kisah baru untuk ku bawa pulang lagi kerumah.
Keesokan senjanya, aku memang merencanakan untuk datang ke taman itu. Aku yakin kakek itu pasti ada disana. Mungkin dia masih menunggu hujan turun. Hari itu aku memakai sepeda lagi karena rasanya lebih menyenangkan memakai sepeda untuk berkeliling sebelum aku ke taman yang masih diguguri bunga falmboyan yang merah ceria.
Sampainya aku di taman itu, aku melihat kakek lagi. Kelihatannya dia tampak lebih ceria dan berseri-seri. Di dekat flamboyan anak kecil itu kembali bermain seperti saat pertama kali aku bertemu kakek disini. Sedikit aku tertawa karena kakek berbicara dengan dirinya sendiri.
“Senja itu
Flamboyan berguguran
Seorang dara memandang
Terpukau …
Satu-satu
Daunnya berjatuhan
Berserakan di pangkuan bumi
Bunga flamboyan itu diraihnya
Wajahnya terlihat sayu
Flamboyan berguguran
Berjatuhan, berserakan
Sejak itu sang dara berharapkan
Esok lusa kan bersemi kembali”
Kakek dengan percaya diri kemudian berbalik dan tersenyum padaku.
“Itu tadi karya bimbo,”kata kakek yang nampaknya tidak tersipu malu.
“Iya,kek. Tapi,hari ini terlalu cerah kek, aku yakin hujan tidak turun,”
“Iya, mengecewakan. Tapi tak apalah, hari ini aku merasa segar,”ucapnya sambil berdiri dan meregangkan badannya.
Aku kemudian duduk sama seperti biasanya, disisi lain dari kursi taman itu. Memandang lurus ke depan dan aku mengamati pohon flamboyan yang tingginya kira-kira 12 meter itu.Tentu saja kakek juga menatapnya, dia tidak pernah berhenti menatap pohon itu kecuali jika menoleh dan tersenyum tipis ke arahku.
“Hari ini cerita apa lagi kek”, tanyaku sambil berpikir mungkin saja cerita yang berhubungan dengan flamboyan lagi. Walaupun sebenarnya aku heran apa yang istimewa dari pohon itu, selain rindang, besar tinggi, dan mengotori taman.
“Hmmm, spertinya ini cerita terakhir yang akan kusampaikan. Tidak apa-apa kan jika tentang flamboyan lagi?”, ucapnya sambil berpikir dan berharap aku tidak bosan.
“Tidak apa-apa kek, yang jelas besok-besok kita bisa bertemu lagi kan dan aku siap mendengarkan cerita apapun dari kakek, aku kan masih muda jadi perlu banyak pengetahuan dari yang lebih tua,”ucapku tanpa ragu
“Ya, mudah-mudahan kalau kita masih bertemu”, katanya
“Bunganya sangat lebat ya kek, sampai-sampai daunnya hampir tidak kelihatan dari sini karena tertutup bunganya,”kataku berusaha memuji pohon yang kuanggap biasa-biasa saja.
“Iya, kau tahu….,”kata kakek terputus karena aku memotongnya
“Tidak tahulah kek….hihihi,”potongku spontan bermaksud bercanda.
“Kau ini ada-ada saja, maksudku apa kau tahu kalau bunga flamboyan akan merekah indah saat musim pancaroba, seperti saat ini, kemarau juga tidak, hujan juga tidak,”kata kakek
“Ooo, pantasan bunganya sangat lebat, dan pantasan juga hujan tidak turun ternyata belum waktunya” kataku, “Apa kakek tidak bosan menunggu hujan turun, lalu jika hujan turun bunganya akan rontok semua dong kek!
“Tidak, justru aku ingin melihat bunganya saat hujan turun, tak apalah jika bunganya gugur, malahan aku senang,” jawabnya dengan senyuman tipis lagi.
“Lalu, tadi mau cerita apa kek?” tanyaku tidak sabar
“Iya, aku pasti cerita dan aku tidak lupa untuk menceritakannya padamu. Hmmmm, waktu itu umurku sekitar tujuh tahun. Aku ini anak yang manja sebenarnya, sangat dekat dengan ibuku. Kemanapun ibuku pergi aku selalu ingin ikut dengannya” kata kakek memulai
“Wajar saja kek, kakek kan waktu itu masih kecil. Aku juga sangat manja dengan mamaku walaupun saat ini kami sering bertengkar mulut, maklum dia itu single parent,”
“Itu karena kamu sudah dewasa. Tapi, ibuku dulu gadis desa, itu kata ayahku”,
Kemudian kakek menepuk-nepuk bahuku sambil berkata demikian. Sepertinya dia ingin aku menjadi anak yang baik. Aku seperti cucunya saja. Setelah itu, dia melanjutkan ceritanya.
“Suatu hari saat awan selesai menangis, maksudku saat hujan deras sudah usai, ibuku mengajak ke sungai untuk bermain. Tentu saja aku ikut dengan senang. Sungai itu sangat panjang, ibu mencuci pakaian di kaki sungai yang airnya agak tenang. Sedangkan aku bermain di dekat air terjun yang cukup tinggi. Hari yang menyenangkan, aku tidak bermain seenaknya, karena ibu sudah mengingatkanku agar berhati-hati, dan aku anak patuh”
Ucap kakek meyakinkanku kalau dia anak yang baik dulu. Lucu juga kakek ini, agak narsis. Tapi aku tetap menjadi pendengar yang baik, aku juga tertarik dengan cerita-ceritanya, walaupun mungkin orang lain menganggap biasa-biasa saja.
“Di puncak air terjun,dibagian tepi sungai yang ada di atas kami, berdiri kokoh pohon flamboyan. Tapi, tidak terlalu tinggi, mungkin tiga perempat dari pohon di depan kita ini. Saat itu, bunganya sudah tidak Nampak dari kejahuan, karena hujan mungkin telah mendorongnya jatuh dari dahannya. Tapi, bukan itu yang aku perhatikan. Yang kuperhatikan adalah sarang burung yang ada di pohon itu. Sarangnya terdapat di tengah pohon diantara persilangan batangnya yang lurus menjadi dahan”
“Pasti kakek mengambilnya” ucapku
“Memang dasarnya anak kampung, aku berjalan menuju tempat itu, melewati bukit kecil berbatu. Belum sampai di tempat itu, ibuku berteriak dari bawah dan kemudian aku terdiam sejenak sambil melihat ibuku datang ke arahku. Aku seperti melihat bidadari. Dia tidak memarahiku sedikitpun. Dia hanya bertanya apa yang akan kulakukan. Aku katakan kalau aku sangat menginginkan sarang burung di pohon itu. Di mangatakan “Berbahaya memanjat pohon ini, kau liatkan batangnya masih basah kalau kau jatuh bagaimana, kau lihat air terjun sangat tinggi dan airnya sangat deras”. Tapi, aku tetap ngotot dan merengek. Baru kali itu aku sangat merengek. Ibuku yang baik kemudian mengatakan “Tapi, kali ini saja, dan ibu yang akan mengambilkannya untukmu eman, dan setelah kau lihat sarangnya ibu akan mengembalikannya,” kemudian ibuku memanjat, aku sangat senang dia kembali dengan sarang itu ditangannya, aku melihat dua telur di sarang itu.”
“Pasti kakek, berniat mengambilnya kan ?”
“Iya, tapi langsung saja ibuku melarangku dan kemudian memanjat pohon lagi untuk mengembalikan sarang itu ke tempatnya. Walaupun hanya melihat dan tidak memilikinya, tapi aku senang. Ibuku mengajariku dengan baik dan itu baru tersadar saat aku mulai dewasa. Kalau makluk hidup harus saling menjaga”
“Wah, ibunya kakek hebat, kalau mamaku sangat cerewet. Suka melarang sesuatu yang senang kukerjakan tanpa alasan mengapa dia melarangku,” ucapku mencurahkan isi hati, tidak bermaksud menjelekkan mamaku sendiri.”Lalu, kakek kembali bermain sendiri?”
“Tidak, Tiba-tiba saja ibuku tergelincir setelah menaruh sarang itu. Aku hanya diam menyaksikan ibuku jatuh di puncak air terjun, dan dibawa derasnya air yang menyeretnya. Aku tidak mendengar teriakan darinya, hanya orang-orang yang ada di situ datang dan menggendongku”
“Astaga, aku…” kataku sangat terlebur dalam cerita itu
“Iya, sekarang aku tidak terlalu mengingatnya lagi. Aku sudah tidak sedih, karena ibuku selalu ada di dekatku. Mungkin itu saat terakhir aku melihat ibu diatas pohon flamboyan, dia sangat cantik berdekatan dengan bunganya walaupun saat itu bunganya sudah berguguran, tapi dia menjadi bunga terindah saat itu” kata kakek mengakhiri ceritanya
“Terus apa yang terjadi setelah itu kek?” tanyaku mencoba untuk tidak membuatnya sedih, tapi sudah terlanjur, aku penasaran.
“Entahlah, itu benar-benar saat terakhir aku melihat ibuku, bahkan pemakamannya aku tidak sanggup datang,”jawabnya
“Jadi….” Kalimatku terpotong karena suara klakson mobil mengagetkanku. Sebuah mobil hitam yang didalamnya berteriak seorang ibu-ibu yang memanggil namaku, dan seorang anak perempuan. Hah….ternyata mereka adalah keluargaku, kakak yang membosankan dan mama dengan suara nyaring memanggilku.
“Pram, apa yang kau lakukan disini, HPmu kau tinggalkan, dari tadi ibu menelponmu, ayo cepat naik,” teriaknya
“Mama, aku hanya berjalan-jalan, mau kemana?, bagaimana dengan sepedaku?,”
Kemudian pak trisno turun dari mobil, aku tidak menyangka dia ada. “Nanti aku yang bawa pulang, non” katanya dengan tergesa-gesa. Aku sedkit kesal dengan keadaan mendadak seperti itu. Tak ada kejelasan.
“Sebenarnya ada apa mama?” tanyaku lagi
“Kau ini, cepat naik. Tante ira mau di operasi dan administrasinya kalau bukan mama yang urus siapa lagi Oon!”, kata kakakku mengesalkan
“Iya, iya. Kakek aku minta maaf. Kali ini aku harus pergi duluan. Sekali lagi maaf” kataku kepada kakek
“Tidak, apa-apa. Lagipula itu tadi kisah terakhir yang bisa aku ceritakan padamu. Harusnya aku yang minta maaf,”jawabnya dengan senyuman dan dia juga tersenyum kepada mamaku yang sedang berada di depan stir, tapi dasar panik, mama tidak membalas senyumnya sedikitpun.
“Lain kali kakek masih bisa bercerita denganku lagi kok, aku siap mendengarkan kisah bersama flamboyan!” kataku
“Tapi kita tidak akan ketemu lagi, kau bisa membuat kisahmu sendiri, karena pohon flamboyan tidak akan pergi kecuali kau yang menjauh darinya,” kata kakek yang tadinya berdiri kemudian duduk kembali menatap ke arah pohon flamboyan lagi.
“Pramesti, apa yang kau lakukan berdiri terus di situ, cepat masuk ke mobil” teriak mama kali ini dengan nada suara yang agak tinggi
“Iya, ma. Sabar sedikit dong!” kataku sambil masuk ke mobil. Kemudian kami berangkat menuju rumah sakit. Ketika roda mobil mulai berputar, aku menoleh ke belakang melihat kakek yang masih saja menatap kearah pohon itu. Lama-kelamaan mobil menjauh dari taman itu, sampai akhirnya aku sudah tak bisa melihatnya. Di kepalaku masih tersimpan pertanyaan apa yang istimewa dari pohon itu.
Keesokan harinya, saat siang tertutupi awan. Aku pergi ke taman itu lagi berharap bertemu kakek dan bermaksud meyampaikan permintaan maaf karena aku pergi tergesa-gesa dan karena ibuku tidak membalas senyuman kakek.
Tapi, sesampai disana aku tidak melihat kakek. Agak heran kenapa kali ini kakek tidak ada padahal hujan sepertinya akan turun sore ini. Mungkin dia sakit dan tidak mampu untuk kesini. Tidak apalah, aku juga biasanya sendiri walaupun agak janggal karena akhir-akhir ini kan aku ngobrol dengan orang itu.
Tiba-tiba anak kecil yang biasa bermain di taman itu memanggilku dari kejauhan. Aku mendekat ke tempat dimana dia mengais-ngais tanah lebih tepatnya dia mneulis sesuatu di tanah itu. Ternyata memang nyaman berada di bawah pohon flamboyan yang rindang itu, tapi tetap saja aku menganggapnya biasa-biasa saja.
“Hai, adik kecil. Mengapa memanggilku?” tanyaku kepadanya dengan sedikit senyum.
“Tidak ada apa-apa kak, aku hanya ingin bermain bersama kakak,”katanya
“Kenapa tidak bermain dengan teman sebayamu” tanyaku lagi
“Ah, mereka kaum elit, mana ada yang mau berteman denganku. Lagipula kata kakek yang pernah duduk di situ bilang akan ada yang menemaniku, katanya lagi, orang itu orang pertama yang akan duduk di kursi disana setelah dia, dan itu kakak,” katanya masih tetap menuliskan sesuatu di atas tanah, sepertinya dia menggambarkan rumah dan orang seperti sebuah keluarga, kemudian menuliskan nama-nama orang itu.
“Yang itu kakakmu ya?, dan berambut panjang pasti ibumu!,”ucapku sambil duduk bersamanya
“Iya”,katanya singkat sambil meneruskan gambarnya.
“Kau tahu kakek itu dimana, atau dia tadi ada disini?,”tanyaku
“Dia tidak datang, dan tidak akan pernah datang”,jawabnya lugu dan sepertinya membuatku penasaran, kakek itu kenapa tidak datang, aku hanya heran saja, aku kan tidak punya janji dengannya.
“Kau tahu rumahnya?” tanyaku lagi
“Iya, hanya dua blok dari sini, di ujung sana. Kakak akan lihat rumah putih krem yang mewah” jawabnya
“O, iya. Kalau begitu aku pergi dulu, nanti kita main lagi ya?” kataku sambil beranjak dari tempat itu. Entah mengapa aku berniat ke rumah kakek itu. Aku hanya ingin tahu ada apa dengan dia. Aku berjalan kearah dimana anak itu menunjuk. Dan memang benar, aku melihat rumah itu. Langsung saja aku memencet bel.
Setelah berkali-kali memencet bel, seorang ibu-ibu seumuran mamaku keluar dari pintu besar dengan motif art deco yang indah. Rumahnya memang sangat unik dan mewah.
“Cari siapa ya?” katanya sambil mendekatiku di pagar
“Maaf tante, apa ini benar tempat tinggalnya kakek eman?” tanyaku
“Iya, aduh, paman bikin masalah apa lagi ya?” katanya yang membuatku heran
“Tidak kok tante, kakek baik. Aku heran biasanya dia ada di taman, belakangan ini kami sering bercakap, hanya ngobrol tante. Aku hanya khawatir sapa tau kakek lagi sakit,”
“Kau ini siapa, apa kau juga tidak waras?” katanya dengan raut wajah yang berubah drastis
“Aku pramesti tante, aku tinggal di perumahan ini juga, hanya agak jauh dari sini. Dan, maaf, aku waras tante”
“Oo, kakek itu jiwanya terganggu, aku pikir dia buat masalah denganmu” ucapnya membuatku kaget
“APA!!, tapi kemarin, dan beberapa hari lalu dia normal-normal saja tante, bahkan cerita banyak hal”
“Kau ini bego atau pura-pura waras, kakek itu sudah meninggal sebulan lalu, hahah..dasar!”
Aku tercengang, tak percaya. Tapi, orang itu meyakinkanku ketika aku menyanggahnya, orang itu mengataiku mengada-ngada, tidak waraslah. Lama kelamaan, aku berpikir. Mungkinkah itu hantunya kakek eman, atau aku hanya berhalusinasi saja. Tapi semuanya terasa nyata. Anak kecil tadi juga pernah bertemu dengannya. Atau itu yang menyebabkan mama tidak membalas senyumannya. seketika aku mengambil HP dari kantong bajuku dan menelpon mama.
“Ada apa pram, sudah puas berjalan-jalan?” kata mama di telepon
“Mama, kemarin mama melihat kakek di taman itu ya?, tempat mama menjemputku sebelum ke rumah sakit” tanyaku secara langsung
“Kau ini pertanyaan yang tidak penting banget sich!, kemarin kamu itu sendiri, makanya mama ngomel kamu berdiri dan berbicara sendiri. Memangnya kenapa, pram?”
“Tidak apa ma, makasih” aku menutup telepon dan kemudian terpaku, terdiam, dan bingung dengan semua ini. Aku kaget, benar-benar shock!. Ini benar-benar terjadi. Mungkinkah aku berbicara dengan hantu, tapi aku yakin semuanya tampak nyata. Ini pasti nyata, tapi kenapa tante ini bilang kakek meninggal sebulan lalu. Aku benar-benar…
“Hei, masih ada yang ingin kau katakan, aku sibuk. Sebentar lagi hujan turun” kata tante itu
“Aku bisa meminta alamat tempat makam kakek eman?” mintaku padanya, dia hanya mengangguk kemudian masuk kedalam rumah.
Sekitar dua menit dia keluar dengan kertas kecil di tangannya. Kertas itu diberikannya kepadaku dan mengatakan “Kakek itu tidak waras sejak kecil, sejak ibunya meninggal karena dia, makanya dia selalu mengada-ngada, kalau kau pernah bertemu dengannya dan dia menceritakan sesuatu, berarti dia itu sedang berhalusinasi, dia itu frustasi, keluarganya tidak ada yang peduli dengan apa yang dia kerjakan. Aku ini hanya istri dari keponakannya, aku tak tahu banyak”. Kemudian dia masuk lagi tanpa menoleh ke arahku. Secarik kertas dengan alamat tertuliskan di atasnya. Aku benar-benar tak percaya ini semua.
Aku berjalan kembali ke taman itu dan menuju pohon flamboyan. Aku tidak melihat anak kecil itu lagi. Mungkin dia telah kembali ke rumahnya. Hujan akhirnnya turun dengan deras. Membasahi tubuhku yang berdiri menatap pohon itu. Aku mengamati pohon itu, dan mendapatkan suatu makna. Bunga-bunga flamboyan tumbuh dan mekar pada setiap dahan, rapat dan berkumpul di dahannya masing-masing, dan terhubungkan oleh satu batang yang besar tembus ke bawah tanah dimana akar menahannya agar tetap berdiri dan berada di sini. Seperti manusia, memiliki kelompok,keluarga sendiri, hidup di tempat-tempat yang berbeda dengan kesejahteraan yang berbeda. Dan dihubungkan satu sama lainnya, seperti batang pohon flamboyan yang menghubungkan dahan tempat bunga-bunganya tumbuh dan mekar.
Kemudian, aku mengambil kumpulan bunga pada dahan yang terjatuh di depanku. Aku menatap bunganya, dan melepasnya dari bagian dahan yang besar. Ternyata sangat istimewa. Bunganya seperti anggrek, tapi lebih indah dari anggrek jika dia tetap berkumpul dengan bunga lainnya. Aku membawa kumpulan bunga flamboyan itu, dan segera pergi ke pemakaman yang dialamatkan di kertas basah yang kupegang itu. Walaupun basah, masih bisa dibaca. Aku pergi dengan angkot yang melintas di depan gerbang perumahan.
Aku mencari kuburan kakek eman. Mencari namanya sesuai dengan yang kubaca di kertas tadi, kertas yang sudah tidak bisa aku baca karena sudah hancur terkena air hujan atau mungkin juga air mataku. Aku sampai di makam yang nisannya tertuliskan nama Ahmad Sulaiman Bin Rahim. Aku terduduk di sampingnya. Derasnya hujan menutupi air mataku yang juga mengalir deras. Aku tidak takut sedikitpun. Aku tidak peduli apakah orang yang ku temui adalah hantu atau ruh atau apapun itu. Yang jelas aku senang bertemu dengannya.
Aku meletakkan bunga flamboyan itu. “Kakek, hujan telah turun aku berharap kau bisa menikmati bunga flamboyan, aku bawakan padamu dari pohon itu”.
Aku sekarang menganggap pohon itu sangat istemewa bagiku, entah mengapa. Mungkin karena aku salut dengan kakek. Walaupun kata tante itu, kakek tidak waras, aku masih tak percaya dengan apa yang aku alami, aku tak tahu apakah aku benar-benar bertemu dengan kakek itu, dan aku tak tahu kisah yang aku dengarkan dari kakek benar atau tidak, tapi aku punya kisah sendiri dengan pohon flamboyan. Kisah tentang aku, kakek, hujan, dan Flamboyan yang indah.


sebuah cerpen karya arini junaeny

Tidak ada komentar: