Senin, 28 Maret 2011

Puisi "Peringatan" oleh Wiji Tukul dalam Rezim Orde Baru



oleh: Arini Junaeny

Jika rakyat pergi
Ketika penguasa pidato
Kita harus hati-hati
barangkali mereka putus asa
Kalau rakyat sembunyi dan berbisik-bisik
Ketika membicarakan masalahnya sendiri
Penguasa harus waspada dan belajar mendengar
Bila rakyat tidak berani mengeluh
Itu artinya sudah gawat
Dan bila omongan penguasa
Tidak boleh dibantah
Kebenaran pasti terancam
Apabila usul ditolak tanpa ditimbang
Suara dibungkam kritik dilarang tanpa alasan
Dituduh subversif dan mengganggu keamanan
Maka hanya ada satu kata: LAWAN!

Sekilas puisi yang mengandung makna perjuangan, perlawanan, dan tuntutan sebuah kebenaran karya Wiji Tukul.

Orde baru yang menggulingkan segala bentuk kebohongan siklus kehidupan di Indonesia membuat banyak pihak mulai gerah, termasuk Wiji Tukul yang melentangkan tangan dan berjuang bersama sastra. Keadaan Indonesia pada saat itu yang sangat kacau balau dan telah menghadirkan ketimpangan-ketimpangan menjadikan karya-karyanya tak hanya sekedar ekspresi diri melainkan untuk bangkit bersama rakyat dan meruntuhkan bercak noda penguasa. Tergambar dalam salah satu puisinya yang berjudul “Peringatan” bahwa rakyat tidak akan tinggal diam terhadap kehancuran yang telah dirasakan selama orde baru. Pada baris terakhir puisi tersebut merupakan kalimat yang paling dikenal bahkan lebih terkenal dari wiji tukul sendiri. Dalam setiap demonstrasi mahasiswa, rakyat,dll, kalimat “Maka hanya ada satu kata: LAWAN!” selalu menjadi nyanyian wajib dan ungkapan tajam.
Sangat tergambarkan alur permasalahan yang ada pada puisi tersebut. Dalam puisi ini wiji tukul menjelaskan bahwa banyak hal yang terjadi pada pihak pemerintahan yang benar-benar merupakan sebuah ruang gelap bagi negeri. Saat rakyat tak lagi bisa mendengar pemimpin, saat rakyat tak bisa mempercayai pemimpin, ketika mulut rakyat selalu dibungkam, ketika suara rakyat tak didengar, dan ketika kebenaran tidak bisa diperoleh dimanapun. Kemelut itu akan membawa Indonesia dalam keterpecahbelahan, cerai-berai, dan tak memilki tujuan bernegara lagi. Maka dalam puisi tersebut membukakan jalan bahwa siapapun itu harus tetap berjuang melawan segala sampah yang menodai bangsa.
Wiji tukul dengan berani dan penuh dengan semangat tak tanggung-tanggung mengajak rakyat atau siapapun itu untuk menentang para penguasa. Perjuangannya memperoleh HAM, yang tentu saja tergambar dalam karyanya membawa hasil yang luar biasa. Berangkat dari lahirnya puisi perjuangan, para kaum pekerja seni dan sastra juga bergerak melawan pemerintahan orde baru yang dinilai menghancurkan nasib rakyat. Munculnya banyak demonstrasi, terutama penuntutan hak buruh yang juga melibatkan wiji tukul sendiri, telah membuktikan pergerakan rakyat terutama rakyat tertindas.
Melalui karya-karyanya tersebut, melalui sastra wiji tukul mendapatkan beberapa penghargaan, dan penghargaan terhebat dan terakhir yang ia dapatkan adalah Yap Thiam Hien Award 2002 dalam hal perjuangan HAM. Namun, hadiah tersebut tak sempat ia nikmati karena Wiji Tukul tiba-tiba menghilang tanpa kabar atau mungkin dihilangkan oleh penikmat rezim orde baru. Semuanya masih tanda tanya sampai saat ini. Kehilangan wiji tukul bukan berarti menghentikan perjuangan HAM di Indonesia, bahkan melalui karya-karyanya yang sangat geming, memicu perjuangan tersebut hingga rezim orde baru runtuh.
Wiji juga bukan seorang sosok opinion leader, yang biasa memengaruhi opini masyarakat. Dalam wawancara dengan majalah Sastra 2 November 1994, ia mengungkapkan posisinya, ''Saya bukan penyair protes. Saya menyadari proses. Menulis puisi persoalannya selalu kembali ke persoalan diri saya. Begitu saya drop out dari sekolah, saat itulah saya sadar tentang arti hidup yang sebenarnya. Ada semacam pembenturan nilai. Yah, setelah keluar sekolah, akhirnya saya harus memilih menjadi tukang pelitur. Saya harus mengatur diri sendiri dan memilih mana yang baik dan tidak. Kalau di sekolah yang baik sudah ditentukan, padahal itu belum tentu baik bagi kita.''
Ketidaknyamanan rakyat pada masa itu telah terpaparkan dalam puisi ini. Dalam setiap baris terdapat pesan mengenai rentetan keluhan realita yang terjadi. Pada masa orde baru tak sedikit orang-orang yang memberontak ditangkap, dibunuh diam-diam, atau bahkan hilang tanpa kabar. Gambaran dalam puisi bahwa tidak adanya lagi Republik Indonesia sebagai suatu kedaulatan rakyat. Perpecahan dan jurang pemisah yang sangat besar antara pemerintah dan rakyat sendiri. Wiji tukul disini bukanlah seorang tokoh besar ataupun pemegang suatu kedudukan yang menggunakan cap itu untuk didengar suaranya, tetapi beliau berteriak atas nama rakyat karena beliau merasakan sendiri, dia bukan bagian dari rakyat tapi dialah rakyat itu. Semua hal tersebut sangat jelas diteriakkan dengan lantang dalam puisi ini.
Dari alur yang terdapat di puisi tersebut telah jelas secara sistimatikal mulai dari keadaan yang mulai memperlihatkan ledakan kecil kemudian permasalahan yang mulai terbuka secara lebar hingga pada akhirnya keresahan harus ditindaki dengan perlawanan rakyat. Implementasi semangat perjuangan dalam puisi menjadi kekuatan sendiri untuk membongkar keberanian rakyat yang telah terwakili dari kata-kata wiji tukul ini.

Tidak ada komentar: