Kamis, 25 Agustus 2011

Analisis Ideologis : Aspek Psikologis yang Dialami Tokoh Lasi dalam novel Bekisar Merah karya Ahmad Tohari (tugas kuliah)

Dalam novel Bekisar Merah, tokoh Lasi merupakan perempuan lugu yang hidup di sebuah desa kecil Karangsoga. Sejak kecil ia mendapatkan perlakuan yang tidak baik dari kebanyakn penduduk Karangsoga bahkan teman-teman kecilnya. Penampilan Lasi yang berbeda dengan kebanyakan anak perempuan lainnya membuat dirinya tersudutkan. Wajah yang mirip orang cina juga membuat caci makian karena ia adalah anak dari tentara jepang. Dalam hal ini, Lasi adalah seorang anak yang tabah dan tidak putus asa terhadap cacian itu. Bahkan ia rela meninggalkan pergaulan masa anak-anaknya karena adanya kesenjangan sosial. Cacian dan tekanan yang dihadapi Lasi membuatnya menjauh dari orang-orang di Karangsoga. Rumor yang beredar bahwa diriya adalah anak haram membuat hatinya terluka karena hal itu sebenarnya tidak benar. Kenyataannya lainnya adalah bahwa penduduk Karangsoga sebenarnya mengetahui bahwa Lasi adalah anak sah dari Mbok Wiryaji dan seorang tentara Jepang. Akan tetapi, karena Lasi adalah kembang desa dan membuat orang-orang iri sehingga dera caci tetap saja di hadapi oleh Lasi. Hal itu membuat Lasi tumbuh menjadi anak yang polos, penurut, dan pendiam.
"Las, mereka tahu apa dan siapa kamu sebenarnya. Tetapi aku tak tahu mengapa mereka lebih suka cerita palsu, barangkali untuk menyakiti aku dan kamu. Sudahlah, Las, biarkan mereka. Kita sebaiknya nrima saja. Kata orang,
nrima ngalah luhur wekasane, orang yang mengalah akan dihormati pada
akhirnya.
"

Tokoh Lasi merefleksikan dilema kejiwaan yang dihadapi oleh sesorang yang mendapatkan tekanan-tekanan sosial dari orang-orang sekitarnya. Sejak kecil hidup dengan status “kembang desa” dan “anak haram” sangat mempengaruhi karakter yang ditunjukkan tokoh ini. Karena cacian “anak haram”, ia bahkan selalu menghindari orang-orang dan menghindari berinteraksi dengan orang-orang di desanya. Gambaran kembang desa yang disandangnya membuat para lelaki melamarnya, untung saja ia memiliki keluarga yang baik, sehingga Lasi tidak harus menikah dengan orang berumur dan sudah punya banyak istri.

Lasi tidak melanjutkan sekolahnya karena tuntutan biaya dan juga kondisi psikologi Lasi yang pasti tetap mendapatkan tekanan dari orang-orang. Lasi membantu ibu dan ayah tirinya di rumah. Dengan hanya melakukan aktivitas di rumah, Lasi kemudian jatuh hati kepada keponakan ayah tirinya. Hal ini dikarenakan Darsa adalah pemuda yang pendiam, tidak banyak bicara. Jika ditinjau dari sifat Lasi yang menutup diri dari masyarakat Karangsoga, ini berarti bahwa Darsa adalah orang yang mampu mengerti dia dan tidak akan banyak bicara mengenai dirinya, entah itu cacian ataupun hal yang lainnya. Dan juga mengingat bahwa Lasi cenderung berinteraksi sosial dengan orang-orang sekitar rumahnya. Hal itu telah dipengaruhi oleh aspek psikologis kejiwaan yang didapatkan Lasi.

Aspek psikologis yang paling menonjol dari tokoh Lasi ialah kisah-kisah dilema yang terus-menerus dihadapi oleh tokoh utama ini. Lasi selalu dihadapkan oleh masalah dan musibah yang membuat dirinya harus memutuskan pilihan yang sangat sulit. Hal itu dipersulit lagi oleh psikologis Lasi yang terus-menerus mendapatkan hal-hal sulit yang bahkan membuat dirinya hanya bisa pasrah menghadapinya. Sosok Lasi yang lugu, cantik, dan baik mengantarkannya ke dalam situasi yang sebenarnya ia tidak inginkan.
Setelah dimadu oleh suaminya, Darsa, yang terjebak oleh seorang dukun yang mengobatinya, Lasi tak memiliki pilhan lain selain melarikan diri. Kondisi ini membuat dilema lagi di hati Lasi. Dengan melarikan diri, Lasi akan meninggalkan segala rasa sakit baik dari Darsa maupun dari tanggapan situasional orang-orang Karangsoga. Di samping itu, Lasi tetap merindukan Karangsoga, asal usulnya dan juga ibu yang terus mengkhawatirkannya. Namun, Lasi tetap saja mengikuti kepasrahan hatinya untuk tetap tinggal di Jakarta.

"Kini ia mulai sadar akan apa yang sedang dilakukannya; lari meninggalkan Karangsoga, bumi yang melahirkan dan ditinggalinya selama dua puluh empat tahun usianya. Lari dari rumah; rumah lahir, rumah batin tempat dirinya hadir, punya peran dan punya makna. Lari meninggalkan tungku dan kawah pengolah nira dan wangi tengguli mendidih. Dan semuanya berarti lari dari yang nyata menuju ketidakpastian, menuju dunia baru yang harus diraba-raba, dunia yang belum dikenal atau mengenalnya"

Dalam novel Bekisar Merah, seperti judulnya, Lasi digambarkan layaknya Bekisar Merah, seekor ayam hasil persilangan antara ayam hutan dan ayam kampung dan menghasilkan ayam yang langka dan mempesona. Itulah Lasi, hasil dari wanita desa dan seorang tentara jepang sehingga Lasi tumbuh menjadi gadis yang sangat cantik dan sangat berbeda dari kebanyakan anak gadis di Karangsoga. Seluruh kelebihan itu membawanya kedalam perubahan sosial dalam hidupnya.
Setelah dijual kepada seorang pria kaya berumur enam puluh lima tahun, keadaan strata sosialnya mendadak berubah. Ia telah benar-benar berubah menjadi seekor bekisar merah dan menjadi pajangan di rumah mewah. Lasi, mendapatkan segala yang dia inginkan dan hal itu membuat dia mempelajari seluruh strata sosial yang tinggi. Kepasrahan dirinya muncul dari psikologis Lasi setelah mendapatkan pengalaman-pengalaman dari perlakuan orang-orang terhadap dirinya. Hal tersebut membuat dia tetap pada tataran seekor bekisar merah yang penurut, pasrah, dan diselimuti kekacauan jiwa yang mengharuskannya mengikuti jalan yang sudah ditetapkan sekalipun itu sangat bertentangn dengan kemauannya.

Pada akhirnya, tampilan Lasi sebagai perempuan penurut, pasrah, dan seekor bekisar merah membawa dirinya kepada kebijaksanaan hati. Perlakuan dari orang-orang Karangsoga terhadap dirinya tidak membawa Lasi dalam lautan dendam. Bahkan, Lasi setelah menikmati kekayaan di kota, ia menengok ke Karangsoga dan membantu orang-orang yang pernah hidup bersamanya.
Perubahan sosial yang dialami tokoh Lasi layaknya benda yang hanyut disungai yang terus mengalir mengikuti aliran air. Namun, ia sudah sampai di duatu hilir yang membuat dirinya sadar akan tekanan jiwa yang dihadapinya. Tekanan dilematis yang dihadapinya mengantarkan dia untuk mengakhiri status wanita pajangan. Ia menjadi wanita terhormat dengan latar belakang yang mungkin dapat dikatakan tidak terhormat.
Dalam novel ini juga menggambarkan betapa peran agama dan budaya sangatlah menentukan alurnya. Setiap kegundahan dan kesusahan yang dihadapi tokohnya selalu mengibaratkan takdir tuhan dan kuasa tuhan. Dan hal-hal itu juga ditunjukkan oleh adat Karangsoga melalui bahasanya dan beberapa ritual yang dijalankan penderes nira. Walaupun Lasi adalah keturunan Jepang, tetapi selama hidupnya ia mencerminkan warga desa dengan kepatuhan terhadap tuhan dan adat-adat yang dijalankannya. Budaya-budaya hormat dan lainnya juga menjadi aspek dalam mempengaruhi psikologis tokoh ini.






Tidak ada komentar: